Oleh Syamsul Maarif *)
Nyaris tidak ada bangsa yang maju di belahan dunia mana pun tanpa diimbangi kemajuan dunia penelitian. Kemajuan dunia penelitian suatu bangsa akan menjadi kawah candradimuka kemajuan bangsa dalam segala bidang kehidupan, mulai dari bidang sosial, politik, ekonomi, budaya bahkan pendidikan tempat bersemainya aktivitas penelitian itu sendiri.
Berbicara pendidikan berarti berbicara sekolah dan perguruan tinggi baik swasta maupun negeri. Untuk perguruan tinggi, keberadaan peneltian barangkali bukanlah sesuatu yang asing bagi komunitas dosen yang ada di dalamnya. Namun, untuk persekolahan, penelitian masih menjadi hal asing bagi sebagian besar guru. Padahal, penelitian semestinya menjadi aktivitas akrab bila persekolahan di Indonesia mau maju ke depan.
Pusaran PersoalanData Badan Kepegawaian Nasional tahun 2005 menyebutkan, sekitar 1,4 juta guru berstatus PNS. Umumnya guru-guru tersebut berada di golongan pangkat III/A sampai III/D dengan jumlah mencapai 996.926. Adapun di golongan IV ada 336.601 guru, dengan rincian golongan IV/A sebanyak 334.184 guru, golongan IV/B berjumlah 2.318 guru, golongan IV/C sebanyak 84 guru, dan golongan IV/D sebanyak 15 guru (Kompas, 27 Maret 2009).
Sedikitnya jumlah guru yang bergolongan IV A ke atas berdasarkan data tersebut sungguh memprihatinkan. Padahal sebagai seorang pendidik, guru sangat mendambakan golongan yang tinggi. Terlebih guru yang sudah bekerja hampr separuh usia hidupnya. Tidak peduli guru yang berstatus PNS atau non- PNS. Para guru nonPNS nantinya juga harus ikut penyetaraan golongan sebagaimana guru PNS. Dengan demikian, guru PNS atau bukan PNS harus tetap memandang penelitian (karya tulis ilmiah) penting. lhwal ini bisa kita baca dari Undang-Undang Guru dan Dosen demi terwujudnya guru profesional dan terjamin kesejahteraannya.
Berikut ini ada beberapa persoalan yang mungkin melatarbelakangi munculnya data-data menyedihkan dari Badan Kepegawaian Nasional di atas..
Pertama, guru-guru lebih banyak disibukkan dengan kegiatan yang berkaitan dengan pembelajaran. Mulai dari penyiapan perangkat administrasi sampai evaluasi. Hari-hari guru dipenuhi tatap muka di kelas. Apalagi guru bersertifikasi, mereka memiliki kewajiban minimal tatap muka dua puluh empat jam. Bisa dibayangkan!.Tugas administrasi dan aktivitas di kelas sangat berjibun. Menyisihkan waktu untuk penelitian kiranya butuh motivasi dan political will ekstra buat mereka.
Kedua, kompetensi mayoritas guru kurang kompeten untuk melakukan penelitian. Rendahnya tingkat kompetensi mereka disebabkan kemampuan keilmuan baik umum maupun dalam bidang penelitian. Hal ini sekaligus menjadi sebab minimnya jam terbang guru dalam aktivitas penelitian.
Ketiga, barangkali hal yang tidak kalah penting dari kedua hal tersebut adalah kebijakan. Ini sifatnya berskala nasional. Kebijakan yang ada baru setengah hati. Manis di atas kertas pahit di realitas. Untuk kenaikan pangkat bagi guru berstatus PNS misalnya, ada kebijakan yang mensyaratkan guru harus membuat karya tulis (penelitian) bagi yang hendak naik golongan pangkat empat (IV) A ke atas.
Kebijakan ini masih koma belum sampai titik. Kalaulah para guru yang hendak naik pangkat golongan ini mau membuat karya tulis, pertanyaannya, siapakah pembimbingnya yang dianggap kompeten agar out put penelitianya bisa dipertanggungjawabkan. Belum lagi ditambah adanya mekanisme birokrasi pengusulan golongan pangkat yang rumit dan berbau arogansi birokrasi. Hal ini yang membuat mengapa kita tidak begitu heran saat mendengar berita adanya percaloan dan mafia kenaikan golongan pangkat di suatu kota di Jawa Tengah yang ramai diberitakan di Koran-koran.
Keempat, orientasi guru dalam memandang aktivitas penelitian masih bersifat material (material oriented) merupakan persoalan yang mengenaskan. Banyak guru PNS yang bekerja puluhan tahun tetap setia dan merasa nyaman saja menduduki golongan IV A. Mareka enggan bersusah-susah untuk membuat karya tulis ilmiah, penelitian atau sejenisnya karena perubahan penghasilan pada struktur gajinya tidak begitu signifikan dengan upaya yang mereka lakukan. Mereka lebih baik menunggu tanpa repot-repot kenaikan penghasilan pada struktur gaji dari masa kerja yang bersifat otomatis dengan jumlah rupiah yang tidak kalah dibandingkan dengan kenaikan golongan. Pandangan ini sudah berurat akar sejak kebijakan ini digulirkan puluhan tahun lalu hingga kini. Tragisnya, ini dianggap sepi, seolah tiada masalah.
Keempat persoalan itulah, minimal yang menjadi sebab buramnya tradisi penelitian atau budaya menulis ilmiah di kalangan guru yang belum begitu tumbuh sebagaimana yang kita inginkan untuk prasyarat majunya bangsa dan pendidikan kita.
Perubahan KebijakanPerubahan kebijakan seolah menjadi kata kunci dari setiap persoalan yang muncul di negeri ini. Sepertinya dengan perubahan kebijakan maka akan terjadilah perubahan sebagaimana yang kita inginkan dari persoalan yang kita keluhkan. Pandangan ini memang tidak sepenuhnya benar. Namun, faktor kebijakan memang strategis dalam sistem ketatatanegaraan mana pun dan dalam bidang apa pun, suka tidak suka. Bagi sebagain kalangan terutama kalangan birokrasi ketika berbicara ranah lemah kebijakan memang menjadi pihak yang tersudutkan kalau tidak dikatakan tersalahkan.
Perubahan jumlah jam wajib minimal dua puluh empat jam tatap muka bagi guru bersertifikasi terkesan menyelesaikan satu persoalan tetapi memunculkan persoalan baru lainnya. Guru kesejahteraannya meningkat melalui tunjangan sertifikasi yang mereka terima tetapi di sisi lain guru makin disibukkan dengan tugas administrasi yang menguras tenaga dan pikiran mereka. Terutama bila kita melihat materi kurikulum berbasis kompetensi yang telah disempurnakan menjadi kurikulum tingkat satuan pendidikan. Kalaulah bisa berjalan ada hal yang mengkhawatirkan: kepura-puraan pembelajaran.
Ilustrasi berikut barangkali bisa kita buktikan. Seorang guru yang jumlah jam per minggunuya hanya dua jam bila yang bersangkutan telah menyandang guru bersertifikat maka harus mengajar dua belas kelas. Kalau satu kelas siswanya diasumsikan rata-rata empat puluh berarti ia harus bertanggung jawab memantau kemampuan pembelajaran sebanyak empat ratus delapan puluh siswa. Guru bersangkutan harus mampu memonitorong perkembangan pembelajaran dan sekaligus melaporkan hasil monitoringnya per siswa dengan komentar dari setiap kompetensi dasar yang telah di sampaikan di depan kelas. Bayangkan!. Bila hal ini terjadi, kapan mereka mau meneliti. Yang terjadi sebaliknya, guru yang bersangkutan perlu diteliti.
Lain dari itu, bertolak belakang dengan ide atau aspirasi para guru tentang basis perhitungan kewajiban jam minimal untuk seorang guru saat awal kurikulum berbasis kompetensi diberlakukan. Basis perhitungan bukan dari jumlah jam tetapi dari jumlah siswa. Alasannya, karena makin beratnya tuntutan pelaporan hasil evaluasi yang harus dilakukan seorang guru dalam proses sampai akhir pembelajaran setiap semester.
Sistem kenaikan golongan pangkat IV A ke atas perlu ditransparankan dan mudah diakses oleh setiap guru. Para guru yang hendak naik golongan pangkat IV A ke atas harus difasilitasi oleh pembimbing penulisan karya ilmiah yang andal. Bila perlu mendapatkan bantuan atau subsidi penelitian atau penulisan karya ilmiah. Setelah guru yang telah selesai melakukan penulisan atau penelitian karya ilmiah ada tenggat waktu, prosedur, dan mekanisme pengusualan yang jelas dan terbuka tanpa dibebani biaya apalagi pungli sampai turunnya golongan kepangkatan yang diusulkan.
Bagimana dengan para guru yang memiliki keengganan dan sikap malas untuk melakukan penelitian atau penulisan karya ilmiah padahal pemerintah sudah membuat kebijakan yang promereka. Problem ini bisa dijawab dengan melakukan penundaan (kenaikan gaji berkala bagi guru PNS dan tunjangan sertifikasi bagi guru nonPNS) selama periode tertentu sampai kemudian diberi tawaran untuk pensiun dini dari profesi guru bila telah melampaui batas toleransi periode yang telah ditentukan.
Reorientasi InternalKompetensi intelektual guru dalam dunia penelitian dan penulisan ilmiah yang masih lemah bisa kita siasati antara lain melalui pelatihan-pelatihan penulisan dan penelitian. Pelatihan ini pun baiknya ditindaklanjutii dengan lomba-lomba penulisan penelitian minimal di tingkat kota dan kabupaten secara rutin dengan dibiayai dari APBD bahkan dari APBS bila dilaksanakan di sekolah.
Lomba penulisan penelitian ini sebagai stimulus guru untuk lebih mengakrabkan pada dunia penelitian dan menambah jam terbang dalam kegiatan penelitian. Dengan demikian, ke depan penelitian dan penulisan karya ilmiah bagi seorang guru adalah bagian inhern yang tidak asing dan tidak menakutkan.
Persoalan orientasi penelitian yang masih berpijak pada material orinted, dengan sendirinya akan teratasi karena persoalan ini muncul sesungghnya dari keterbatasan tingkat kesejahteraan guru dan rumitnya birokrasi dalam melayani para guru yang hendak mengusulkan kenaikan pangkat dan golongan IV A ke atas.
Reorientasi internal guru ini akan tidak efektif bila tidak didahului kebijakan yang memihak bagi munculnya pribadi guru-guru yang akrab dan gandrung dunia penulisan dan penelitian ilmiah. Kalau mungkin muncul guru-guru yang hobi menulis dan meneliti itu sifatnya kasuistis dan tidak sistemik.
Mudah-mudahan ke depan guru-guru Indonesia makin gemar menulis ilmiah dan meneliti sebagai bagian penguatan basis kemampuan intelektual mereka sekaligus sebagai medan pergulatan dalam mengkonstruksi dan menteoretisasikan hasil penelltian dan penulisan ke dalam proses pembaruan dan pemajuan disipilin keilmuan mereka.
-------------------------------------------------------------------------
*)Penulis adalah ketua LP Maarif Cabang Brebes
Nyaris tidak ada bangsa yang maju di belahan dunia mana pun tanpa diimbangi kemajuan dunia penelitian. Kemajuan dunia penelitian suatu bangsa akan menjadi kawah candradimuka kemajuan bangsa dalam segala bidang kehidupan, mulai dari bidang sosial, politik, ekonomi, budaya bahkan pendidikan tempat bersemainya aktivitas penelitian itu sendiri.
Berbicara pendidikan berarti berbicara sekolah dan perguruan tinggi baik swasta maupun negeri. Untuk perguruan tinggi, keberadaan peneltian barangkali bukanlah sesuatu yang asing bagi komunitas dosen yang ada di dalamnya. Namun, untuk persekolahan, penelitian masih menjadi hal asing bagi sebagian besar guru. Padahal, penelitian semestinya menjadi aktivitas akrab bila persekolahan di Indonesia mau maju ke depan.
Pusaran PersoalanData Badan Kepegawaian Nasional tahun 2005 menyebutkan, sekitar 1,4 juta guru berstatus PNS. Umumnya guru-guru tersebut berada di golongan pangkat III/A sampai III/D dengan jumlah mencapai 996.926. Adapun di golongan IV ada 336.601 guru, dengan rincian golongan IV/A sebanyak 334.184 guru, golongan IV/B berjumlah 2.318 guru, golongan IV/C sebanyak 84 guru, dan golongan IV/D sebanyak 15 guru (Kompas, 27 Maret 2009).
Sedikitnya jumlah guru yang bergolongan IV A ke atas berdasarkan data tersebut sungguh memprihatinkan. Padahal sebagai seorang pendidik, guru sangat mendambakan golongan yang tinggi. Terlebih guru yang sudah bekerja hampr separuh usia hidupnya. Tidak peduli guru yang berstatus PNS atau non- PNS. Para guru nonPNS nantinya juga harus ikut penyetaraan golongan sebagaimana guru PNS. Dengan demikian, guru PNS atau bukan PNS harus tetap memandang penelitian (karya tulis ilmiah) penting. lhwal ini bisa kita baca dari Undang-Undang Guru dan Dosen demi terwujudnya guru profesional dan terjamin kesejahteraannya.
Berikut ini ada beberapa persoalan yang mungkin melatarbelakangi munculnya data-data menyedihkan dari Badan Kepegawaian Nasional di atas..
Pertama, guru-guru lebih banyak disibukkan dengan kegiatan yang berkaitan dengan pembelajaran. Mulai dari penyiapan perangkat administrasi sampai evaluasi. Hari-hari guru dipenuhi tatap muka di kelas. Apalagi guru bersertifikasi, mereka memiliki kewajiban minimal tatap muka dua puluh empat jam. Bisa dibayangkan!.Tugas administrasi dan aktivitas di kelas sangat berjibun. Menyisihkan waktu untuk penelitian kiranya butuh motivasi dan political will ekstra buat mereka.
Kedua, kompetensi mayoritas guru kurang kompeten untuk melakukan penelitian. Rendahnya tingkat kompetensi mereka disebabkan kemampuan keilmuan baik umum maupun dalam bidang penelitian. Hal ini sekaligus menjadi sebab minimnya jam terbang guru dalam aktivitas penelitian.
Ketiga, barangkali hal yang tidak kalah penting dari kedua hal tersebut adalah kebijakan. Ini sifatnya berskala nasional. Kebijakan yang ada baru setengah hati. Manis di atas kertas pahit di realitas. Untuk kenaikan pangkat bagi guru berstatus PNS misalnya, ada kebijakan yang mensyaratkan guru harus membuat karya tulis (penelitian) bagi yang hendak naik golongan pangkat empat (IV) A ke atas.
Kebijakan ini masih koma belum sampai titik. Kalaulah para guru yang hendak naik pangkat golongan ini mau membuat karya tulis, pertanyaannya, siapakah pembimbingnya yang dianggap kompeten agar out put penelitianya bisa dipertanggungjawabkan. Belum lagi ditambah adanya mekanisme birokrasi pengusulan golongan pangkat yang rumit dan berbau arogansi birokrasi. Hal ini yang membuat mengapa kita tidak begitu heran saat mendengar berita adanya percaloan dan mafia kenaikan golongan pangkat di suatu kota di Jawa Tengah yang ramai diberitakan di Koran-koran.
Keempat, orientasi guru dalam memandang aktivitas penelitian masih bersifat material (material oriented) merupakan persoalan yang mengenaskan. Banyak guru PNS yang bekerja puluhan tahun tetap setia dan merasa nyaman saja menduduki golongan IV A. Mareka enggan bersusah-susah untuk membuat karya tulis ilmiah, penelitian atau sejenisnya karena perubahan penghasilan pada struktur gajinya tidak begitu signifikan dengan upaya yang mereka lakukan. Mereka lebih baik menunggu tanpa repot-repot kenaikan penghasilan pada struktur gaji dari masa kerja yang bersifat otomatis dengan jumlah rupiah yang tidak kalah dibandingkan dengan kenaikan golongan. Pandangan ini sudah berurat akar sejak kebijakan ini digulirkan puluhan tahun lalu hingga kini. Tragisnya, ini dianggap sepi, seolah tiada masalah.
Keempat persoalan itulah, minimal yang menjadi sebab buramnya tradisi penelitian atau budaya menulis ilmiah di kalangan guru yang belum begitu tumbuh sebagaimana yang kita inginkan untuk prasyarat majunya bangsa dan pendidikan kita.
Perubahan KebijakanPerubahan kebijakan seolah menjadi kata kunci dari setiap persoalan yang muncul di negeri ini. Sepertinya dengan perubahan kebijakan maka akan terjadilah perubahan sebagaimana yang kita inginkan dari persoalan yang kita keluhkan. Pandangan ini memang tidak sepenuhnya benar. Namun, faktor kebijakan memang strategis dalam sistem ketatatanegaraan mana pun dan dalam bidang apa pun, suka tidak suka. Bagi sebagain kalangan terutama kalangan birokrasi ketika berbicara ranah lemah kebijakan memang menjadi pihak yang tersudutkan kalau tidak dikatakan tersalahkan.
Perubahan jumlah jam wajib minimal dua puluh empat jam tatap muka bagi guru bersertifikasi terkesan menyelesaikan satu persoalan tetapi memunculkan persoalan baru lainnya. Guru kesejahteraannya meningkat melalui tunjangan sertifikasi yang mereka terima tetapi di sisi lain guru makin disibukkan dengan tugas administrasi yang menguras tenaga dan pikiran mereka. Terutama bila kita melihat materi kurikulum berbasis kompetensi yang telah disempurnakan menjadi kurikulum tingkat satuan pendidikan. Kalaulah bisa berjalan ada hal yang mengkhawatirkan: kepura-puraan pembelajaran.
Ilustrasi berikut barangkali bisa kita buktikan. Seorang guru yang jumlah jam per minggunuya hanya dua jam bila yang bersangkutan telah menyandang guru bersertifikat maka harus mengajar dua belas kelas. Kalau satu kelas siswanya diasumsikan rata-rata empat puluh berarti ia harus bertanggung jawab memantau kemampuan pembelajaran sebanyak empat ratus delapan puluh siswa. Guru bersangkutan harus mampu memonitorong perkembangan pembelajaran dan sekaligus melaporkan hasil monitoringnya per siswa dengan komentar dari setiap kompetensi dasar yang telah di sampaikan di depan kelas. Bayangkan!. Bila hal ini terjadi, kapan mereka mau meneliti. Yang terjadi sebaliknya, guru yang bersangkutan perlu diteliti.
Lain dari itu, bertolak belakang dengan ide atau aspirasi para guru tentang basis perhitungan kewajiban jam minimal untuk seorang guru saat awal kurikulum berbasis kompetensi diberlakukan. Basis perhitungan bukan dari jumlah jam tetapi dari jumlah siswa. Alasannya, karena makin beratnya tuntutan pelaporan hasil evaluasi yang harus dilakukan seorang guru dalam proses sampai akhir pembelajaran setiap semester.
Sistem kenaikan golongan pangkat IV A ke atas perlu ditransparankan dan mudah diakses oleh setiap guru. Para guru yang hendak naik golongan pangkat IV A ke atas harus difasilitasi oleh pembimbing penulisan karya ilmiah yang andal. Bila perlu mendapatkan bantuan atau subsidi penelitian atau penulisan karya ilmiah. Setelah guru yang telah selesai melakukan penulisan atau penelitian karya ilmiah ada tenggat waktu, prosedur, dan mekanisme pengusualan yang jelas dan terbuka tanpa dibebani biaya apalagi pungli sampai turunnya golongan kepangkatan yang diusulkan.
Bagimana dengan para guru yang memiliki keengganan dan sikap malas untuk melakukan penelitian atau penulisan karya ilmiah padahal pemerintah sudah membuat kebijakan yang promereka. Problem ini bisa dijawab dengan melakukan penundaan (kenaikan gaji berkala bagi guru PNS dan tunjangan sertifikasi bagi guru nonPNS) selama periode tertentu sampai kemudian diberi tawaran untuk pensiun dini dari profesi guru bila telah melampaui batas toleransi periode yang telah ditentukan.
Reorientasi InternalKompetensi intelektual guru dalam dunia penelitian dan penulisan ilmiah yang masih lemah bisa kita siasati antara lain melalui pelatihan-pelatihan penulisan dan penelitian. Pelatihan ini pun baiknya ditindaklanjutii dengan lomba-lomba penulisan penelitian minimal di tingkat kota dan kabupaten secara rutin dengan dibiayai dari APBD bahkan dari APBS bila dilaksanakan di sekolah.
Lomba penulisan penelitian ini sebagai stimulus guru untuk lebih mengakrabkan pada dunia penelitian dan menambah jam terbang dalam kegiatan penelitian. Dengan demikian, ke depan penelitian dan penulisan karya ilmiah bagi seorang guru adalah bagian inhern yang tidak asing dan tidak menakutkan.
Persoalan orientasi penelitian yang masih berpijak pada material orinted, dengan sendirinya akan teratasi karena persoalan ini muncul sesungghnya dari keterbatasan tingkat kesejahteraan guru dan rumitnya birokrasi dalam melayani para guru yang hendak mengusulkan kenaikan pangkat dan golongan IV A ke atas.
Reorientasi internal guru ini akan tidak efektif bila tidak didahului kebijakan yang memihak bagi munculnya pribadi guru-guru yang akrab dan gandrung dunia penulisan dan penelitian ilmiah. Kalau mungkin muncul guru-guru yang hobi menulis dan meneliti itu sifatnya kasuistis dan tidak sistemik.
Mudah-mudahan ke depan guru-guru Indonesia makin gemar menulis ilmiah dan meneliti sebagai bagian penguatan basis kemampuan intelektual mereka sekaligus sebagai medan pergulatan dalam mengkonstruksi dan menteoretisasikan hasil penelltian dan penulisan ke dalam proses pembaruan dan pemajuan disipilin keilmuan mereka.
-------------------------------------------------------------------------
*)Penulis adalah ketua LP Maarif Cabang Brebes
Comments :
0 comments to “PROBLEMATIKA AKTIVITAS PENELITIAN DI KALANGAN GURU”
Posting Komentar