Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Apa?

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, atas berkat rahmat hidayah dan Inayah Allah SWT, kami mampu mengerjakan dan menyelesaikan pembuatan situs ini. semoga situs ini bernilai manfaat bagi kita semua.
Sholat salam yang tak pernah luput disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah memberi inspirasi kepada kita semua untuk selalu berbuat baik dan benar.
Terima kasih yang tak terbantahkan kepada para pendahulu pemerhati dan pahlawan pendidikan yang telah mengabdikan jiwa raganya untuk mencerdaskan Bangsa ini.
Terima kasih kepada semuanya yang telah menginspirasi pembuatan situs ini.
Salam Cerdas Dari dan Untuk Anak Bangsa
School Vision and Missions [Visi dan Misi Sekolah]
The School Vision:
Becoming an Islamic and Indonesian based vocational school with national reputation in educating graduates with noble morality, fashionable knowledge, and trainable competencies
Visi Sekolah:
Menjadi sebuah sekolah kejuruan berbasis Ke-Islaman dan Ke-Indonesiaan dengan reputasi nasional dalam mendidik lulusan yang berpekerti mulia, berpengetahuan mutakhir, dan berkecakapan terlatih.
School Missions
The mission of the Nahdliyin Vocational School 02 Brebes is to provide foundations in the moderate Islamic faith, in Indonesian nationalism, and in academic competencies that will enable the students to become individuals: (1) who value and live their faith, (2) who love and dedicate their live for the nation, (3) who are able to survive and engage in further education, and (4) who are able to make benefits to their society and live in harmony in cultural diversity.
Misi Sekolah
Misi SMK Maarif NU 02 Brebes adalah memberi landasan keyakinan Islam moderat, nasionalisme Indonesia, dan kecakapan akademik yang memungkinkan peserta didik menjadi pribadi yang: (1) menghargai dan hidup seturut keyakinan, (2) mencintai dan mengabdikan hidup bagi bangsa, (3) mampu hidup mandiri serta mengikuti pendidikan lebih lanjut, dan (4) mampu memberi manfaat kepada masyarakat serta hidup serasi dalam keragaman budaya.

Kamis, 29 September 2011

Menjadi Warga Negara yang Santun Berbangsa dan Soleh Beragama, Mungkinkah? *

Syamsusl maarif **)

Saya mencoba menebak-tebak latar pemikiran panitia seminar yang menyuguhkan tema “Santun Berbangsa dan Soleh beragama”. Mengapa tidak mendahulukan frasa “soleh beragama” baru “santun berbangsa” sehingga temanya menjadi “Soleh Beragama dan Santun Berbangsa”. Logikanya, orang yang soleh beragama, taat bergama sudah pasti santun berbangsa. Namun, faktanya kini makin rancu, banyak orang atau kelompok orang yang mengklaim dirinya soleh-bahkan merasa paling soleh- tetapi tidak santun berbangsa, sebagaimana yang dilakukan Amrozi, misalnya. Akan tetapi, dengan mendahulukan frasa “santun berbangsa” baru diikuti “soleh bergama”, panitia hendak menunjukkan kepada public Indonesia, bahwa santun berbangsa adalah pencerminan kesolehan seseorang dalam beragama. Artinya, siapa pun warga negara jangan pernah mengaku dirinya soleh beragama sebelum ia santun berbangsa. Sungguh ini menunjukkan kosmopololitan p pemikiran Santri Darunnajat. Ini sekadar berfilsafat bahasa saja. Tapi memang penting karena segalanya dimulai dari bahasa.
Sehari sepeninggal eksekusi mati Amrozi dkk, saya menerima SMS yang mengagetkan karena datangnya dari seorang teman, yang kebetulan ia adalah pengurus Ranting NU di salah satu desa di kecamatan Salem. SMS itu kurang lebihnya mengatakan: Allahu Akbar 3X, telah gugur syuhada kita, Pejuang sejati Islam Indonesia, dst. Lalu saya jawab SMS: Ha…ha…..ha….Juga SMS yang bernada sama: Allahu Akbar 3X. Saya menyaksikan 3 ekor burung yang semula dua ekor lalu dating lagi satu ekor berputar-putar di atas rumah ibunda Amrozi ketika jenazah Amrozi disemayamkan. Saya menyaksikan wajah akhina Amrozi tersenyum dan mencium bau harum semerbak dari jenazahnya, dst. Lalu saya jawab SMS: Aja nggugu. Namun, berbeda dengan berita sepeninggalnya Nurcholis Majid, tokoh yang mashur dengan adagium Islam Yes, Partai Islam No. Bahwa ia diberitakan begitu mengalami kesulitan ketika menghadapi saat-saat kematian dan wajahnya tampak hitam. Hal ini kemudian dikaitkan dengan pandangan ke-Islam-an beliau (sekularisasi Islam), dan anak perempunnya yang menikah dengan seorang pria Yahudi. Padahal saat-saat menjelang kematian, Nurcholis selalu minta diperdengarkan ayat-ayat suci Al Quran  Ini fenomena menarik bagaimana membangun opini publik yang diametral. Satu white campaign satu black campaign.

Latar Belakang Peristiwa
Amrozi dkk. adalah satu fenomena keberagamaan kontemporer Indonesia pada era pasca reformasi. Fenomena ini bersumber dari dua hal, pertama, problem modernisasi. Kedua, probelem intelektual.
Modernisasi adalah teori penting yang banyak digunakan dalam melihat fenomena agama. Menurut teori ini modernisasi telah mengakibatkan transformasi dalam tradisi dan kehidupan social yang antara lain ditandai dengan (1) berkembangnya kemajemukan internal(internal diversity); (2) diferensiasi structural (structural differentiation); (3) agama sebagai bagian dari tradisi harus berhadapan dengan dua kekuatan utama modernisasi, yaitu pluralisme budaya (cultural pluralism) dan kritisisme ilmu pengetahuan (scientific criticism).
Dari teori modernisasi tersebut, melahirkan dua kesimpulan. Pertama, sejak abad XIX  para intelektual Eropa mendasarkan keyakinan bahwa agama sedang dalam proses kematian. Bahkan Nietsche mengatakan Agama telah mati.  Pandangan ini diwakili oleh Peter L. Berger, Talcot Parson. Dari pandangan inilah kemudian lahir tesis besar sekularisasi  yang kian meminggirkan peran agama dalam kehidupan public seiring sekularisasi dan privatisasi.. Kedua, pandangan sebaliknya yang dikemukakan Robert W. Hefner dan Lester Kurtz. Menurut Hefner pandangan pertama danggap prematur. Justru pergantian melenium baru ini ditandai dengan penyebaran ide-ide demokrasi untuk masyarakat dan kebudayaan yang berbeda-beda. Serta penampakan kembali isu-isu etnik dan agama dalam urusan public seperti munculnya kembali Nasionalisme Hindu di India, Islam dan kewarganegaraan di Prancis (Fenomena maraknya pemakaian jilbab di lingkungan sekolah dan kampus yang berakhir dengan pelarangan lewat UU), dan gerakan-gerakan Islam di dunia muslim.
Kurtz membagi respon agama terhadap modernitas ke dalam lima bentuk. Pertma, modernist movements, respon modernisasi agama seperti protestanisme dan modernisme Islam seperti di Mesir, Pakistan, Indonesia. Kedua, anti modernist movements, seperti tradisi protes dalam Kristen dan tradisionalisme dalam Islam. Ketiga, liberation theologies movements, gerakan teologi pembebasan seperti di Amerika Latin dan gerakan perempuan (feminisme). Keempat, new religious and quasi religious form, gerakan agama-agama baru dan bentuk-bentuk kuasi agama seperti individualisme, konsumerisme, agama civil (civil religion), dan nasionalisme. Kelima, religious syncretism (sinkretisme agama) gerakan keagamaan yang membawa elemen tradisi ke dalam makna baru. 
Dalam wilayah keagamaan terdapat keyakinan yang kuat bahwa keputusan dan keyakinan teologis seseorang akan mempunyai dampak eskatologis, yang menyangkut keselamatan di dunia dan akhirat. Karenanya, setiap pengambilan keputusan harus didahului dengan pemahaman yang holistic melalui refleksi kritis dan kejelian atas fenomena dan peristiwa yag terjadi di sekelilingnya. Ini yang disebut problem intelektual.
Munculnya agama-gama baru di Indonesia merupakan bentuk pengambilan keputusan yang dilakukan sekelompok orang yang merasa memperoleh wahyu dari Tuhan dan mengemban tugas untuk menyebarkan ajara-ajaran yang diperolehnya.. Termasuk persoalan intelektual  internal suatu agama. Bagaimana bisa selamat dari gempuran modernisasi global yang berlangsung sedemikian cepat. Beberapa nabi agama baru menganggap bahwa saat ini terjadi dekadensi moral dan telah banyak ajaran agama  keluar jalur yang sebenarnya. Karena itu, mereka terpanggil  dan kemudian melakukan pertapaan.
Secara garis besar fenomena kemunculan agama-agama baru dapat dikelompokkan menjadi: Pertama, revitalisasi tradisionalisme(tradisionalism revitalisation) sebagaimana tecermin dari fenomena sufisme kota, fundamentalisme, dan radikalisme Islam. Kedua, gerakan spiritualitas pencarian (seeking spirituality) Sebagaimana tecermin dari fenomena Salamullah Lia Eden, Al Qiyadah Al Islamiyah. Ketiga,Revitalisasi agama local (local religious revitalisation) sebagaimana tampak dalam Sunda Wiwitan, Budho Tengger, Samin.
Bila diamati gejala kehidupan beragama di Indonesia menunjukkan adanya trend kontradiktif, yaitu munculnya revitalisasi tradisi lama yang beriringan dengan munculnya gejala gerakan agama baru.

Revitalisasi Tradisionalisme
Revitalisasi tradisionalisme telah melahirkan sufisme kota, fundamentalisme, dan radikalisme. Dua yang terakhir, fundamentalisme dan radikalisme mengambil posisi sebagai Islam politik. Kelompok ini menurut Hefner mengambil corak  organik represif. Merespon globalisasi dan modernisasi dengan menggunakan agama sebagai “baju besi” dengan mempersiapkan senjata dan menyerukan jihad kepada masyarakat secara keseluruhan. Cita-cita dari kelompok ini adalah penaklukan Negara. Kelompok ini memiliki pendudkung tidak hanya di kalangan muslim konservatif tetapi juga di kalangan radikal anti pluralisme.
Kelompok ini gemar mengutip dalil: Al Islam din wa dawlah, Al Islam Huwa al-hall, Al islam ya’lu wa laa yu’ la ‘alaih, La hukma Illallah. Kelompok ini berkeyakinan bahwa Islam merupakan satu-satunya ajaran yang komprehensif, multiaspek yang mempertautkan secara integrative antara agama dan dunia, termasuk dengan kehidupan politik, siyasat. Karena itu,merupakan keniscayaan bagi setiap muslim untuk menerapkan Islam secara kaffah, termasuk memformulasikan ajaran dalam system pemerintah. Cara-cara untuk menegakkan itu kemudian ditafsirkan sebagai jihad dengan berbagai saluran yang ada, dari politik, pendidikan, ekonomi, dan diantaranya dengan kekerasan. Kelompok ini juga acap menggunakan pendekatan jihad secara fisik atau yang sering mereka sebut perang suci (qitaal). Berbeda dengan NU, pada Muktamar kedua di Banjarmasin 1936, NU justru mendukung dan menyatakan  bahwa Hindia Blanda yang sedang dikuasai oleh komunitas nonmuslim dianggap sebagai Negara Islam sehingga  NU banyak terlibat dalam Hisbullah yang melawan penajajah jepang. Bagi NU melawan penjajah adalah sebentuk jihad. Mempertahankan  Negara adalah sebuah jihad. Paradigma yang digunakan NU adalah jihad (instrument agama) untuk Negara (dawlah).  Berbeda dengan kelompok tadi, jihad (instrument agama) untuk (menegakkan) agama itu sendiri.

Menurut Muhammad Niam, Rois Syuriah PCI NU Pakistan, menengarai ada tiga agenda besar dari gerakan politik Islam ini.Pertama, menghancurkan kekuatan politik non-Islam (barat) sebagai balasan atas kekejaman dan kesewenang-wenangan mereka di dunia islam. Kedua, mengganti system global yang ada dengan system islam. Ketiga, mendirikan Negara Islam (khilafah islamiah), khususnya di Negara-negara mayoritas muslim yang system kenegaraan dan perundang-undangannya  tidak berlandaskan Islam.
Karena kerap menggunakan kekerasan (senjata), kelompok ini mendapat stigma teroris.  Menurut Syeh Najih, pendiri Jamamaah Islamiah Mesir, ada empat prinsip berbahaya dari idiologi teroris, yaitu:
1. Fanantisme terhadap pendapat sendiri dan menolak pendapat orang lain. (pemaksaan pemahaman dengan kekerasan).
2. Memahami teks-teks agama secara harfiah dan tidak bisa menyelami makna dan hikmah. (ayat-ayat perang disantap dengan mudahnya).
3. Berlebih-lebihan dalam pengharaman. (segala sesuatu yang tidak memiliki dasar syariat dituding haram dan kafir).
4. Mudah mengkafirkan. (Hal ini menjadi awal sebab kekerasan fisik. Bila seseorang telah disebut kafir, murtad, dan sesat maka sama saja dengan memperbolehkan orang lain melakukan kekerasan).

Konklusi
Sebagai warga negara Indonesia yang ingin menjadi warga negara yang Santun berbagsa dan sholeh beragama, bagaimana caranya?. Yakni dengan prinsip “cara baca baru” atas tradisi dan sekaligus terhadap modernitas. Bagiaman bisa hidup modern  dan otentik  serta responsif terhadap perubahan dan problematika social merupakan pilihan penting umat islam ke depan. Selaras dengan pandangan Mohammed Arkoun, bahwa dengan penerimaan yang wajar terhadap modernitas dan tradisi sekaligus, upaya-upaya pembaharuan Islam menjadi mungkin untuk dilaksanakan secara baik.. Termasuk dalam hal ini Fazlurrahman memiliki kesamaan dengan metode tafsirnya yang popular , hermeneutika double movements.
Sementara menurut Hefner dengan cara refigurasi agama dengan opsi agama sivil (civil religion). Pendekatan ini lebih menerima keberagamaan  dan keberagaman suara public, sembari mengakui secara sadar bahwa ini adalah salah satu jalan alternative bagi masyarakat agama untuk hidup di abad modern. Agama dapat dibawa ke arena public tetapi dengan tetap menekankan menjaga independensinya agar pesan-pesannya menjadi begiutu jelas. “Suara-suara agama” harus siap menjadi factor peyeimbang dan kritik terhadap Negara dan pasar.
Selain itu, Jean Jacques Rousseau, mengatakan bahwa agama sivil agama warga Negara (relighion of the citizen) adalah  agama suatu bangsa yang bersifat terorganisir dan hierarkis dengan dogma-dogma formal. Agama ini mengajarkan cinta tanah air, ketaatan pada negara, dan nilai-nilai pengorbanan. Dengan begitu, maka akan terjadi keseimbangan dan keselarasan antara agama dengan politik.
Maka idealitas muslim yang integral, taat pada Tuhan, taat pada rosul, dan taat pada pemerintah (Negara) terpenuhi. Bukan muslim dengan pemahaman parsial, hanya taat pada Tuhan dan Rosul tetapi meninggalkan ketaatan  pada bangsa dan Negara.
  *) Makalah dipresentasikan pada seminar di Ponpes Modern darunnajat
**) Ketua LP Maarif  Cabang Brebes.

Comments :

0 comments to “Menjadi Warga Negara yang Santun Berbangsa dan Soleh Beragama, Mungkinkah? *”

Posting Komentar

WARTA SMK

Pelanggan

Kontak

SMK Maarif NU 02 Sirampog
Alamat Banjarsari No 99 Manggis
Sirampog - Brebes
Jawa Tengah 52272

E-mail: smk.manusia1@gmail.com
telp : 0289-430837
Mobile : 085860289004

  © Blogger template syamsul by endiananews.com 2011

Back to TOP