Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Apa?

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, atas berkat rahmat hidayah dan Inayah Allah SWT, kami mampu mengerjakan dan menyelesaikan pembuatan situs ini. semoga situs ini bernilai manfaat bagi kita semua.
Sholat salam yang tak pernah luput disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah memberi inspirasi kepada kita semua untuk selalu berbuat baik dan benar.
Terima kasih yang tak terbantahkan kepada para pendahulu pemerhati dan pahlawan pendidikan yang telah mengabdikan jiwa raganya untuk mencerdaskan Bangsa ini.
Terima kasih kepada semuanya yang telah menginspirasi pembuatan situs ini.
Salam Cerdas Dari dan Untuk Anak Bangsa
School Vision and Missions [Visi dan Misi Sekolah]
The School Vision:
Becoming an Islamic and Indonesian based vocational school with national reputation in educating graduates with noble morality, fashionable knowledge, and trainable competencies
Visi Sekolah:
Menjadi sebuah sekolah kejuruan berbasis Ke-Islaman dan Ke-Indonesiaan dengan reputasi nasional dalam mendidik lulusan yang berpekerti mulia, berpengetahuan mutakhir, dan berkecakapan terlatih.
School Missions
The mission of the Nahdliyin Vocational School 02 Brebes is to provide foundations in the moderate Islamic faith, in Indonesian nationalism, and in academic competencies that will enable the students to become individuals: (1) who value and live their faith, (2) who love and dedicate their live for the nation, (3) who are able to survive and engage in further education, and (4) who are able to make benefits to their society and live in harmony in cultural diversity.
Misi Sekolah
Misi SMK Maarif NU 02 Brebes adalah memberi landasan keyakinan Islam moderat, nasionalisme Indonesia, dan kecakapan akademik yang memungkinkan peserta didik menjadi pribadi yang: (1) menghargai dan hidup seturut keyakinan, (2) mencintai dan mengabdikan hidup bagi bangsa, (3) mampu hidup mandiri serta mengikuti pendidikan lebih lanjut, dan (4) mampu memberi manfaat kepada masyarakat serta hidup serasi dalam keragaman budaya.

Sabtu, 03 September 2011

APBS BERSIH KORUPSI


Syamsul Maarif *)

Lima hal yang dipertanyakan dalam  Focus Group Discussion (FGD) yang digelar Indonesia Coruption Watch (ICW), yakni 1). proses perencanaan, 2). perencana, 3). sosialisasi, 4). pengelola, 5). pertanggungjawaban  dalam penyusunan APBS (Anggaran Pendapatan Belanja Sekolah) terhadap orang tua  murid dan guru hasilnya sungguh mengecewakan walau sudah bisa diduga sebelumnya.
Pertanyaan pertama, proses perencanaan APBS, orang tua murid dan guru  menjawab sama: tidak tahu dan tidak dilibatkan. Pertanyaan kedua, perencana APBS, orang tua murid menjawab tidak tahu sedang guru menjawab: kepala sekolah dan orang kepercayaannya. Pertanyaan ketiga, sosialisasi APBS, orang tua murid dan guru menjawab sama: tidak ada. Pertanyaan keempat,pengelola APBS, orang tua murid menjawab: tidak tahu sedang guru menjawab: kepala sekolah dan orang kepercayaannya. Pertanyaankelima, pertanggungjawaban APBS, orang tua dan guru  menjawab sama: tidak ada.
Jawaban kelima pertanyaan tersebut adalah jawaban  lima komunitas masyarakat di Jakarta, yaitu Kampung Bandan, Kemanggisan, Menteng Tenggulun, Cipinang Raya, dan Rawamangun  yang notebene relatif lebih terpelajar, aksesibilitas-nya tinggi, melek informasi, Bisa kita bayangkan bagaimana jawaban komunitas masyarakat di luar ibu kota Jakarta andai digelar survey FGD yang sama, tentu jawabannya  akan lebih mengenaskan, bukan?.
Ini mengindikasikan bahwa konsep MBS (Manajemen Berbasis Sekolah) yang diprogram dan biayai oleh pemerintah dengan dana yang tak terbilang kecil  hasilnya hampir mendekati gagal. Sebatas project oriented. Sumber pendanaannya pun hasil utang dari bank dan pemerintah asing.
Persoalannya jelas, APBS bersih korupsi mensyaratkan APBS partisipatoris. APBS partisipatoris mensyaratkan komitmen pelaksanaan MBS. Pelaksanaan MBS mensyaratkan aturan yang mengikat: Perda Pendidikan.

MBS, Idealitas dan realitas
Arus reformasi yang begitu deras menerjang negeri ini telah banyak mengubah sendi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Tak terkecuali bidang pendidikan. Bidang yang sangat strategis dalam menentukan maju-mundurnya bangsa Indonesia ke depan.
Para penentu kebijakan telah sadar sepenuhnya untuk segera bangkit membenahi wajah pendidikan Indonesia yang kian kusam dan kehilangan arah. Pendidikan yang telah menjadi korban kepentingan politik kekuasaan pemerintah masa silam.
Demokratisasi sebagi  lawan otoriterisasi  adalah agenda utama reformasi. Dalam konteks pendidikan, demokratisasi diterjemahkan suatu  keinginan untuk mengakhiri praktik pendidikan yang sentralistik  dan serba top down, sendiko dawuh, asal bapak senang. Menuju pendidikan yang egalitarian, mencerahkan,  dalam frame kebhinekaan Indonesia.
MBS dianggap mampu menjadi solusi alternatif pengurai benang kusut dan carut-marut  pendidikan yang makin tertinggal dibandingkan negeri-negeri seberang seperti Malaysia, Korea, India.
Sejak tahun 2000 pemerintah menetapkan MBS sebagai kebijakan nasional setelah sebelumnya diujicobakan di beberapa daerah. Secara konseptual kebijakan MBS bermaksud mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam mengelola sekolah. Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan merupakan dua lembaga yang sengaja disiapkan untuk mewadahi peran serta masyarakat. Untuk membentuk dua lembaga itu, pemerintah membuat panduan yang dituangkan dalam Keputusan Menteri Pendidikan Nasional (Kepmendiknas) 044/U/2002. Kemudian masing-masing pemerintah daerah membuat semacam surat keputusan yang ditandatangani oleh gubernur/bupati/walikota.
Secara finansial penerapan MBS di Indonesia didukung oleh beberapa negara dan lembaga keuangan internasional seperti World Bank (Bank Dunia), Asia Development Bank (Bank pembangunan Asia), pemerintah Belanda, dan pemerintah Selandia Baru. Bahkan, bantuan keuangan dan utang di sektor pendidikan saat ini semuanya ditujukan untuk memperkuat pelaksanaan MBS di Indonesia.
Sebagai konsep yang datangnya dari elit Depdiknas dan Lembaga Keuangan internasional, secara praksis, masyarakat dan pengeola sekolah belum banyak yang paham hakikat MBS. Akibatnya, pelaksanaan MBS tidak berjalan seperti yang diharapkan.
Sosialisasi yang dilakukan pemerintah juga belum maksimal meski pemerintah banyak mengeluarkan biaya yang cukup besar. Pemutaran iklan layanan masyarakat yang berlangsung selama satu bulan di seluruh jaringan televisi misalnya, pun malah menimbulkan salah paham masyarakat. Masyarakat memandang bahwa MBS justru makin membebani masyarakat dalam pembiayaan pendidikan.
Walaupun komite sekolah sudah dibentuk, penyelenggaran sekolah masih belum partisipatif. Misalnya, dalam penyusunan APBS, dominasi kepala sekolah masih sangat besar, baik dalam penyusunan maupun pelaksananannya. Orang tua murid hanya tinggal menerima,  dan mereka tidak dilibatkan dan tidak memperoleh sosialisasi.  Begitu pula dengan guru, hanya menjadi pelaksana semua kebijakan yang telah ditetapkan kepala sekolah.
Selain itu, faktor mental dan sikap penyelenggara sekolah serta masyarakat belum berubah. MBS hanyalah konsep semata. Praktik dalam mengelola sekolah mengacu pada paradigma dan maindset lama. Hanya diwacanakan, hanya diteorisasikan. Komite sekolah dan dewan pendidikan tinggalah lembaga yang ompong, tanpa ruh.
Ditambah lagi belum adanya perangkat hukum atau aturan yang mampu mengikat dan memaksa semua stakesholderssekolah untuk bagaimana konsep MBS bisa dilaksanakan sebagaimana mestinya. Pemerintah daerah seperti sudah merasa selesai dengan hanya menerbitkan surat keputusan tentang lembaga-lembaga pendukung pelaksanaan MBS tanpa menindaklanjutinya dengan membuat aturan yang menjamin dilaksanaknya konsep MBS. Hanya sekadar “MBS basa-basi”.
“MBS basa basi” kemudian tidak mampu  memberesi persoalan akut pendidikan. MBS yang secara konseptual ditunjang oleh dua institusi, yakni komite sekolah di tingkat sekolah dan dewan pendidikan di tingkat kabupaten dan kota belum berjalan seperti yang diharapkan. Komite Sekolah mandul, Dewan Pendidikan tumpul, partisipasi masyarakat terengah-engah, akuntabiltas pengelolaan sekolah rendah, dan akhirnya, korupsi sekolah tidak bisa dicegah.


Perda Pendidikan
Agar APBS senapas dengan tujuan MBS perlu diterbitkan perda pendidikan sebagai payung hukum pelaksanaan pembangunan pendidikan di daerah. Dengan perda pendidikan antara eksekutif dan legislatif dapat bersinergi. Eksekutif dan legislatif akan memiliki kepastian visi, misi, persepsi, dan orientasi pendidikan di suatu daerah. Perda juga akan mampu memberikan arah dan petunjuk hendak di bawa ke mana sejatinya pendidikan.
Ada beberapa hal krusial yang musti diakomodasi dalam perda pendidikan untuk mewujudkan APBS partisipatif, bersih korupsi diantaranya, seperti pertama, persoalan pungutan-pungutan baik yang legal maupun yang ilegal yang kian hari kian membebani masyarakat. Kedua, persoalan penguatan institusi komite sekolah sampai persoalan penyusunan APBS partisipatoris. Ketiga, persoalan pembatasan jabatan kepala sekolah
Saat beban ekonomi masyarakat kian berat, masyarakat masih dihadapkan pada pungutan-pungutan memberatkan terutama pada awal tahun pelajaran. Orang tua siswa tidak berdaya,  pasrah tidak memiliki kemampuan untuk melawan bahkan  menolak kebijakan sekolah.
Munculnya sekolah-sekolah berlabel standar nasional ataupun internasional juga telah membuka peluang justifikasi pungutan. Korban dari sekolah jenis ini adalah mayoritas kelas bawah, kalangan masyarakat ekonomi lemah. Padahal hak-hak mereka tidak boleh terkurangi sedikit pun yang menjadi kewajiban pemerintah untuk mendapat pendidikan yang layak sekaligus bermutu sebagai warga bangsa sebagaimana telah diamanatkan undang-undang. Maka dalam hal ini perlu ada penyikapan tegas pemerintah terhadap sekolah jenis ini yang menjamin tidak adanya diskriminasi, eksploitasi. Jangan sampai berlanjut pada kalimat sarkasme: Orang miskin dilarang sekolah.
Oleh karenanya, perlu ada penegasan dalam aturan pungutan-pungutan. Pungutan  mana saja yang diperbolehakan dan yang tidak diperbolehkan. Tidak ada pungutan tanpa melibatkan komite sekolah. Konsekensinya, sekolah yang melakukan pelanggaran harus dijatuhkan hukuman.  
Keberadan komite sekolah perlu diberdayakan melalui peraturan daerah yang secara tegas dan tandas menguatkan kedudukannya. Komite harus punya gigi untuk mengontrol penyelenggaraan pendidikan di tingkat sekolah. Dalam hal anggaran misalnya, komite harus terlibat aktif dalam penyusunan anggaran yang dibuktikan dengan tanda tangan kehadiran rapat pembahasan anggaran dan belanja sekolah sebagai bukti yang menyertai manakala pihak sekolah melaporkan APBS ke dinas pendidikan. Selanjutnya komite juga harus mengawasi penggunaan anggaran untuk menghindari penyimpangan
Karena komite sekolah bungkam,  praktis kontrol dan pengawasan (kepala) sekolah hanya  mengandalkan pada pengawasan melekat. Sebagaimana kita tahu. bahwa sistem pengawasan ini terbukti tidak efektif. Makin maraknya kasus korupsi di indonesia bukti nyata.   Sistem pengawasan ini tidak jarang berujung pada parodi:  “Yang Mangawasi dan yang diawasi bersepakat”. Hasilnya bisa ditebak, penyalahgunaan anggaran tetap berjalan, korupsi di sekolah sukses berlangsung dari tahun ke tahun tanpa ada upaya serius memperbaikinya. Korban berjatuhan, anak putus sekolah, bahkan bunuh diri gara-gara tidak mampu membayar iuran, pungutan  sekolah.
Maka dari itu, penguatan komite sekolah adalah obat penawar yang tidak bisa ditawar sebelum persoalan ini ditarik ke yurisdiksi di luar institusi sekolah atau pendidikan. Sebelum berurusan dengan aparatur hukum. Sungguh tragis dan dramatis bila ini kemudian yang terjadi. Mumpung belum terjadi, segeralah pemerintah daerah ambil langkah, benahi pendidikan lewat perda yang mencerdaskan dan memberdayakan.
Prinsip penganggaran yang  partisipatoris dalam pendidikan  sebenarnya hal yang ditekankan dalam konsep MBS. Model ini telah dipraktikkan di negara asal  pemain bola kondang Ronaldinho, Brasil, tepatnya di Puerto Rico. Setelah model ini dipraktikkan, pendidikan di kota ini berangsur mengalami kemajuan. Selain Selandia baru sendiri tentu, sebagai funding pelaksanaan MBS di Indoenesia.
Contoh lebih ekstrem, bisa kita ambil dari pengalaman negara bagian Chicago. Setelah masyarakat prustasi menghadapi ketidakbecusan birokrasi pendidikan dan pemerintah dalam  praktik penyelenggaraan pendidikan yang tidak kunjung memuaskan, akhirnya melalui kekuatan masyarakat bersama dengan kelompok “intelektual transformatif” mengambil alih penyelenggaraan pendidikan dari tangan pemerintah kepada semacam dewan pendidikan. Dewan ini di dalamnya merepresentasikan kekuatan masyarakat yang menghendaki perubahan perbaikan pendidikan. Dan gerakan ini ternyata menuai sukses. Pendidikan bisa berjalan seperti yang diinginkan. Mungkinkah pendidikan di Indonesia akan mengalami hal yang sama?.
Pembatasan jabatan kepala sekolah juga termasuk persoalan penting dan urgen untuk dilakasanakan dalam menunjang APBS partisipatif. Apalagi Permendiknas No XI/2003 telah mengaturnya dengan gamblang. Namun, masih banyak pemerintah daerah yang abai, tidak terkecuali Brebes.
Periodesasi kepala sekolah mutlak dilakukan. Yakni, untuk kepentingan kaderisasi bagi guru-guru yang progresif-transformatif, meminimalisasi deviasi kekuasaan kepala sekolah yang kerap berujung pada aksi korupsi, mendesakralisasi jabatan kepala sekolah juga menciptakan transparansi anggaran. Fakta hasil FGD ICW di lima komunitas masyarakat kota Jakarta sebagai contoh nyata. Betapa perilaku dan manajemen kepala sekolah lebih tertutup dalam hal pengelolaan anggaran. Ketertutupan ini kemudian membuka lebar pintu korupsi.  ……………………………………….
*)Adalah Ketua Serikat Guru Brebes


Comments :

0 comments to “APBS BERSIH KORUPSI”

Posting Komentar

WARTA SMK

Pelanggan

Kontak

SMK Maarif NU 02 Sirampog
Alamat Banjarsari No 99 Manggis
Sirampog - Brebes
Jawa Tengah 52272

E-mail: smk.manusia1@gmail.com
telp : 0289-430837
Mobile : 085860289004

  © Blogger template syamsul by endiananews.com 2011

Back to TOP